Kalimat “Guru adalah orang tuamu
disekolah” sudah hampir membuat telinga para siswa tuli. Kalimat ini akan
selalu dilayangkan kepada siswa, khususnya mereka siswa baru. Respon yang
diberikan siswa juga tidak begitu bervariasi, jika bukan “ahhhh, iya-iya” ya
pasti “iya bu/pak”. Karena mereka sudah bosan dengan perkataan yang tidak akan
pernah berganti ketika mereka menghadapi suatu masalah yang melibatkan peran
guru didalamnya. Satu dari banyak nasihat yang dilontarkan guru kepada siswa
pasti “Kamu itu disekolah untuk belajar, bukan untuk ribut dan bermasalah.
Orang tuamu menitipkan kamu ke sekolah ini untuk belajar. Kami (guru-guru) yang
bertanggung jawab atas dirimu disekolah”. Mau bagaimana lagi, perkataan itu
adalah perkataan yang simple, akan
tetapi berbobot. Kalimat ini menunjukkan bagaimana orang tua kita memberikan
kepercayaan penuh kepada yang sang pahlawan, guru.
Respon yang seperti itu juga
sebenarnya menimpa saya ketika awal masuk SMA, sebagai penerima beasiswa Sampoerna Foundation. Mau bagaimana lagi, sebagai
seorang siswa yang tidak terlalu dekat dengan orang tua karena beberapa faktor,
saya berpendapat tidak jauh dengan pendapat itu, “Iya bu, saya sudah tahu itu”.
Akan tetapi, sesuatu hal telah menyihir saya untuk mengubah pendapat yang telah
mendarah daging di kaula muda. Semua itu berkat sihir kecil yang diberikan seorang
malaikat yang mengajak saya ke pendapat yang lebih baik. Dia adalah guru Bahasa
Indonesia di SMA saya, guru yang biasanya paling dibenci siswa SMP karena
selalu ada PR yang harus dikerjakan di akhir pekan. Teman-teman biasa memanggilnya
Ibu Salsal atau Bu Sal. Itu adalah
panggilan akrab yang diberikan oleh teman-teman kepada Sang Pahlawan. Sepanjang
sepuluh tahun saya duduk dibangku sekolah, baru sekali dan mungkin hanya disini
saya menemukan guru seperti Bu Sal. Ibu guru yang baik, murah senyum,
perhatian, dan cantik. Apalagi ketika itu saya baru saja menginjakkan kaki di
tempat yang bernama asrama, tempat tinggal saya selama kurang lebih tiga tahun.
Awalnya
biasa, tanpa ada kejadian seperti menjatuhkan buku dan mengambilnya dengan
berbarengan, Bu Sal mengajar dan saya diajar olehnya. Akan tetapi, lama-kelamaan
saya merasa ada yang berbeda dengan sekolah ini, dengan guru-guru disini. Tidak
terlalu lama saya tertidur dengan pikiran yang menghantui saya, saya pun segera
tersadar bahwa sekolah ini memang memiliki sinar pencerahan dan malaikat
didalamnya. Disekolah ini ternyata
saya tidak hanya belajar mengenai akademik atau non-akademik disekolah saja
melainkan diasrama juga. Bu Sal menjadi salah satu guru yang tinggal
diasrama untuk mendidik para siswa tentang kehidupan, tentang permasalahan sosial,
permasalahan pribadi, serta tentang kehidupan bermasyarakat.
“Yaaaahhh,
Bindo (Bahasa Indonesia) lagi Bindo lagi. Bolos aja, yuk!” begitulah pendapat
teman-teman SMP saya ketika pelajaran Bahasa Indonesia akan segera dimulai. Wajar
saja, karena guru yang mengajar itu adalah guru senior yang notabenenya pasti
jelek didepan siswa. Metodenya dalam mengajar simple, hanya masuk dan siswa mengerjakan tugas. Jika tidak, siswa
disuruh membaca dan meringkas materi yang diajarkan pada waktu itu serta
mengerjakan tugas yang diberikan pada waktu itu juga. Ketika saya bertemu Bu
Sal, saya langsung tersihir dengan metodenya mengajar yang santai tapi pasti.
Dia masuk dengan membawa proyektor ditangan kanannya, laptop serta alat tulis
didalam tasnya sambil tersenyum dan berkata, “Haaaaiiiii, selamat pagi-selamat
pagi! Apa kabar, anak-anakku?” Secara serentak siswa-siswa menjawab,
“Haaaaaaiiii Ibuuuu, baik buuuu”, dan salah satu siswa akan memberikan
pertanyaan balik ke Bu Sal, “Ibu apa kabar, bu? Ibu makin cantik aja” sambil tersenyum
senang. Sambutan awal yang hangat untuk memulai pelajaran.
Kurikulum
yang ada disekolah saya ini tidak jauh berbeda dengan kurikulum yang ada
disekolah-sekolah pada umumnya. Hanya saja, sekolah saya mempunyai dua
kurikulum yang diterapkan secara bersamaan, yaitu kurikulum nasional, KTSP, dan
kurikulum internasional, IGCSE, dan dimulai dari pukul tujuh hingga pukul
ssetengah enam sore dan dilanjutkan lagi dengan belajar mandiri dimulai pukul
delapan malam hingga pukul setengah sepuluh malam. Keprofesionalitasan guru-guru
serta staf sekolah saya sangatlah patut ditiru oleh guru-guru lainnya. Mereka mengajar
dengan sungguh-sungguh hingga tetes keringat mereka mengalir seperti sungai
kebahagiaan. Seperti halnya Ibu Salsal, ia mengajar dengan metode yang sangat
berbeda dibandingkan dengan guru pada umumnya. Ibu Salsal mengajar dengan
santai dan ia memahami keadaan siswa-siswanya. Ada kalanya siswa merasa jenuh
dengan pelajaran yang ada, bukan karena mereka tidak ada kemauan belajar, tetapi
karena terkadang otak para siswa telah jenuh dengan pelajaran-pelajaran yang
telah mereka dapatkan sebelumnya. Pada keadaan seperti itu, Ibu Salsal
memutarkan beberapa video yang mendidik, video lucu, atau video yang memberikan
motivasi kepada para siswa untuk belajar lebih giat. Ada kalanya Ibu Salsal
memutarkan sebuah film sebagai alat pembelajaran sehingga siswa akan berdiskusi
setelahnya. Sehingga siswa menjadi lebih aktif dalam belajar. Untuk topik-topik
tertentu, seperti drama, pidato, dan pembacaan puisi, ia mengemasnya dalam satu
pembelajaran. Sehingga dalam satu waktu kita telah menguasai tiga materi dengan
praktik. Hal-hal seperti itu sudah tergolong biasa disekolah saya. Membuat display, presentasi, dan diskusi telah
diterapkan secara penuh dalam pembelajaran. Sehingga budaya mencontek tidak
tersentuh oleh siswa-siswa disekolah saya. Dengan perlakuan yang seperti itu
siswa menjadi segan untuk mencontek.
Dalam satu
setengah tahun pertama, saya dan teman-teman saya diberikan kurikulum
internasional, IGCSE. Kita belajar menggunakan Bahasa Inggris sebagai bahasa
pengantar. Di lingkungan asrama pun kita, guru dan siswa, menggunakan Bahasa
Inggris dalam berbincang. Kecuali pada saat pelajaran Bahasa Indonesia, kita
menggunakan Bahasa Indonesia secara penuh. Disana, siswa tidak hanya dibekali
dengan ilmu akademik saja. Akan tetapi, softskill
seperti berbicara didepan umum, memimpin, dan aktif dalam kegiatan sosial. Ada
satu ekstra kurikuler wajib, yaitu Learning
to Live, yang harus siswa jalani selama tiga tahun. Pada ekstra kurikuler
itu siswa akan melakukan kegiatan sosial seperti mengajar di sekolah dasar
(SD), mengunjungi panti jompo, dan lain-lain sesuai dengan minat siswa. Para siswa
juga telah dibekali bagaimana cara menjadi seorang pemimpin, dengan mempelajari
7 Habits. Dalam pengaplikasiannya
para siswa bisa menerapkannya pada organisasi-organisasi, ekstra kurikuler, dan
kegiatan-kegiatan yang diadakan oleh sekolah maupun siswa.
Pada satu
setengah tahun berikutnya, saya dan teman-teman mempelajari kurikulum nasional,
KTSP. Keadaan tak banyak berubah seiring beralihnya kurikulum. Hanya bahasa
pengantarnya saja yang berubah dari Bahasa Inggris menjadi Bahasa Indonesia. Selama
tiga tahun belajar disana saya sebagai seorang siswa bangga menjadi seorang
siswa dan merasa beruntung bisa sekolah, apalagi disekolah yang luar biasa hebat.
Dari pengalaman guru-guru kami belajar. Walaupun kami angkatan pertama yang
lulus dari SMA Negeri Sumatera Selatan (Sampoerna Academy), tetapi kami bangga
dengan kelulusan 100% pada UN dan mempunyai teman-teman yang semuanya
melanjutkan sekolah diluar negeri, perguruan tinggi negeri, dan beberapa di
perguruan tinggi swasta di Indonesia. Pengalaman terbaik yang telah saya alami
disana telah mengubah pola pikir saya. Dengan metode yang berbeda, para guru
disekolah saya menjadi sesosok malaikat yang mengubah kepompong menjadi
kupu-kupu dengan bekal yang cukup untuk melanjutkan kehidupan fase berikutnya. Bu
Sal menjadi sosok malaikat yang mampu mengubah kepompong itu menjadi kupu-kupu
yang siap berkelana. Sampai kapanpun, jasa seorang guru tak bisa diwakilkan
dengan apa-apa kecuali membuatnya bahagia dengan mengaplikasikan ilmu yang
telah mereka berikan. Guruku pahlawanku.
Perpisahan Intake 2009 |